PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI
KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR
Johnny W. Situmorang*)
Abstrak
Cooperative Economic development is an integral part of national
economic
development. The higher capacity of the region in national
economy, it should be reflected on
the higher regional cooperative economy.
In the era of regional outonomy, cooperative development
constitutes one of the main
authorities of the head of the regions. In compliance with the
environmental and climate
changes, every province will spur to developing cooperative
economy to materalizing people’s
economy.
One of the encouragements to enhance inter regional competition
is by identifying the
position of the province nationally. By using regional
cooperative economic performance/PEKR
index, then the provincial rank in could be identified. The result
of the analysis shows a good
performance of one province is not always indicated by the high
regional economy capacity in
the national economy. In, 2006 the highest rank was achieved by
the Province of Gorontalo,
although this province having low regional economic capacity, but
it was able to create very
high cooperative economy.
I. PENDAHULUAN
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade.
Kemajuan
perekonomian
Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas
ekonomi
makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil,
inflasi
yang
terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh
stabilitas
politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan dengan
stabilitas
makro. Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena
engine of growth yang
penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa
investasi
terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk
menjamin
bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa
investasi
terhadap
PDB (Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan
ekonomi
yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi
langsung
nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum
menjadi
andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran
dan
kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya
di
perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi
lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak
mempunyai
keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik
investasi ke
Indonesia
adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survey
nasional
dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada
posisi
yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Artinya, Indonesia belum
menjadi
negara tujuan investasi. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum
menyentuh
bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia
usaha
lebih menyukai pusat operasinya di regional (daerah) tertentu saja, khususnya
di
Pulau
Jawa dan Pulau Bali. Aliran investasi dalam rangka PMDN dan PMA separuhnya
masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional
lainnya. Pola
ini
jelas dapat semakin memperbesar kesenjangan antar regional dimana regional
selain
Pulau
Jawa dan Bali pembangunan ekonominya semakin jauh tertinggal. Kesenjangan
antar
regional ini sekaligus juga mempersulit upaya penanggulangan pengangguran dan
kemiskinan.
Bila kesenjangan ini masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya
strategi
Pemerintah secara nasional menarik investasi dalam rangka pemulihan ekonomi
dari
krisis dan revitalisasi perekonomian.
Sejalan dengan otonomi daerah, kesenjangan pembangunan antar
daerah yang
tinggi
menunjukkan tujuan otonomi daerah tidak tercapai dalam rangka menyejahterakan
rakyat.
Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten, kota, dan propinsi, harus
berlomba
menunjukkan
prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
Mobilisasi
sumberdaya lokal, praktis di bawah kendali pemerintahan lokal dan propinsi.
Dengan
demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota memberikan
harapan
kesungguhan setiap daerah membangun ekonomi dengan prinsip kompetisi.
Program-program
pembangunan menjadi implementasi strategi setiap pemimpin daerah
dalam
mewujudkan visi dan misi ketika kampanye pemilihan kepala daerah tersebut.
Secara
praktis dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan
seluasluasnya
kepada
daerah untuk membangun sesuai dengan kapasitas daerah itu di tengah
perubahan
lingkungan strategis yang cepat.
Pembangunan koperasi adalah salah satu
strategi setiap kepala daerah dalam
pembangunan
ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi telah dikenal luas selama
ini
sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Secara ideal, koperasi
tidak
hanya sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap mampu
mengejawantahkan
peran konstitusi (pasal 33 UUD 1945) dalam konteks ekonomi
kerakyatan.
Secara faktual, koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi sebagaimana
bentuk
badan usaha lain, seperti perseroan terbatas (PT). Dalam era otonomi daerah
jelaslah
bahwa pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan
ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala daerah juga harus
berlomba
memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
Apakah perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan
kemampuan
propinsi
mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk
Domestik
Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling
tinggi
di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya,
serta
jumlah
penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi
Pulau
Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan
hasil
analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada
tahun
2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi
koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk
disimak
karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak
mencerminkan
sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di
Pulau
Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
daerah
lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis ini juga dapat
membuktikan
apakah
strategi pemerintah daerah dan pusat, khususnya lembaga pemerintah yang
bertanggungjawab
pengembangan koperasi, mampu menjawab permasalahan dasar
perekonomian
sesuai grand strategies pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY),
khususnya dalam rangka otonomi daerah. Dengan kata lain, apakah pola
pembangunan
koperasi menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional atau
berpotensi
untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus
menerus.
II. METODE ANALISIS
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang
dikemukakan
di atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih sering
dikumandangkan
berdasarkan analisis historikal yang normatif. Tulisan ini mencoba
menampilkan
analisis yang lebih positif dengan menggunakan fakta empirik menyangkut
posisi
ekonomi koperasi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi
itu
berada. Pendekatan relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk
mengetahui
performa
propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks,
berdasarkan
Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) dari sisi regional atau
propinsi
atau kawasan Indonesia (selanjutnya disebut regional) atau Regional Cooperative
Economic Performance Index (RCEPI).
IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana
performa
relatif ekonomi koperasi secara regional (cooperative
economic size by region)
atau
ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional
secara
nasional
(economic size relative by region). Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan
antara
rasio nilai ekonomi atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang
dinyatakan
sebagai
ukuran ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut dengan
nasional.
Pendekatan analisis berdasarkan IPEKR atau indeks RCEP tersebut
dirumuskan
dalam
beberapa persamaan berikut ini. Ukuran ekonomi koperasi regional/propinsi
(UEKR)
atau disebut juga sebagai regional cooperative economic size (RCES) adalah
sebagai
berikut:
Dimana
VUKR = volume usaha koperasi regional/propinsi (Rp triliun) dan VUKN =
volume
usaha koperasi nasional (Rp triliun). Volume usaha koperasi dipakai sebagai
indikator
ekonomi, karena secara empirik volume usaha mencerminkan kemampuan
koperasi
dalam bisnis dan ekonomi. UEKR selalu di antara nol dan satu (0<UEKR<1).
Semakin
tinggi UEKR semakin besar ukuran regional dalam pengembangan ekonomi
koperasi
relatif terhadap nasional.
Ukuran ekonomi regional/propinsi (UER) atau disebut juga sebagai
regional
economic size (RES)
dirumuskan sebagai berikut:
Dimana
PDRB = produk domestik regional bruto dari propinsi dan PDB = produk
domestik
bruto Indonesia. PDRB merupakan indikator ekonomi utama regional dan PDB
sebagai
indikator utama perekonomian nasional. Nilai UER adalah di antara nol dan satu
(0<UER<1).
Semakin tinggi UER maka semakin besar pula kemampuan atau kapasitas
ekonomi
propinsi relatif terhadap nasional.
IPEKR
atau RCEPI dapat dirumuskan sebagai rasio antara UEKR dengan UER,
yakni:
Dimana
UEKR = ukuran ekonomi koperasi regional dan UER = ukuran ekonomi regional.
IPEKR
berada antara nol dan tak terhingga (IPEKR_0). Bila IPEK<1 maka performa atau
rating
regional rendah, dengan kata lain pengembangan ekonomi koperasi di bawah
kemampuan
ekonomi regionalnya. Bila IPEK>1 maka performa atau rating regional tinggi,
atau
dengan kata lain pengembangan ekonomi koperasi di atas kemampuan ekonomi
regionalnya.
Berdasarkan IPEKR, pemeringkatan daerah dapat dilakukan. Oleh karena itu,
peringkat
daerah dalam ekonomi koperasi tergantung pada besaran IPEKR tersebut.
Metode ini cukup baik untuk menjelaskan rating dan peringkat
regional/propinsi
dalam
pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan telah digunakan oleh para
analis
atau
peneliti ekonomi untuk melihat posisi berbagai aspek, antara lain komoditas
dalam
ekspor,
negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk
mengetahui
dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam
perdagangan
luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and
Development) menggunakan metode
ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI
dalam
the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya. Demikian juga penulis
sendiri
telah
menggunakannya dalam memeringkat sektor perekonomian dan regional dalam
menarik
investasi PMDN dan PMA. Pada tahun 2007, Kementerian Negara KUKM
melalui
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya
untuk
memeringkat propinsi dalam pembangunan KUKM1. Dalam pembangunan wilayah,
metode
ini biasanya digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan lokasi
perencanaan
wilayah.
Analisis ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal
dari Bdan
Pusat
Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website
masingmasing
lembaga.
Data PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto
Indonesia
dan propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha
koperasi
baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006. Seyogianya, performa tahun
2007
lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia.
Bahkan
untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB.
Sehingga
penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya
dengan
asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka
pendek.
Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan
ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari
Pulau
Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).
III. HASIL ANALISIS
3.1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran
rating
propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Tabel 1 menampilkan hasil
perhitungan
IPEK sesuai dengan persamaan (3). Pada tahun 2006, sebaran rating
propinsi
sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terrendah
0.1224.
Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional
mencapai
5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya.
Dengan
kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan
menciptakan
5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1%
pangsa
ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau
87.76%
di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.
Tabel 1.
Rating dan Peringkat Propinsi Tahun 2006 berdasarkan IPEK
Pada Tabel 1 tersebut terlihat pula, yang mampu mencapai IPEK>1
hanya
12
propinsi atau 36.4% dari seluruh propinsi, selebihnya 64.6% di bawah nilai satu
(IPEK<1).
Dengan kata lain hanya sebagian kecil dari propinsi yang mampu
menunjukkan
performa baik dalam pengembangan ekonomi koperasi. Hal ini
sebenarnya
memprihatinkan mengingat rencana strategi setiap kepala daerah selalu
menempatkan
koperasi sebagai obyek pembangunan daerah yang terpenting. Data
tersebut
di atas juga mengindikasikan bahwa antara ucapan dan tertulis yang
menyatakan
komit terhadap pembangunan koperasi sangat jauh dari kenyataan.
Berarti,
rencana strategis kepala daerah yang memuat pembangunan koperasi
sebagai
salah satu target utama, cenderung hanya retorika politik agar memperoleh
simpati
rakyat ketika kampanye pemilihan kepala daerah.
Hasil dari analisis ini memperlihatkan suatu hal yang tidak
disangka
sebelumnya
secara radikal. Justru rating tertinggi dicapai oleh Propinsi Gorontalo
(5.6086)
dan terrendah Propinsi Kepulauan Riau (0.1224). Rating tinggi dicapai
oleh
12 propinsi, yakni Gorontalo, Bali (3.5734), Jawa Timur (2.3627), Maluku
(2.3113),
DI Yogyakarta (1.7472), Jawa Tengah (1.6723), NTB (1.3200), Sumatera
Selatan
(1.2468), Sulawesi Utara (1.1426), Sulawesi Selatan (1.0870), Lampung
(1.0632),
dan Sulawesi Tenggara (10239). Dengan rating tersebut, maka secara
berurutan
peringkat-1 diduduki oleh Propinsi Gorontalo, dan seterusnya sesuai
dengan
rating di atas. Hal yang mengejutkan lagi adalah propinsi yang selama ini
diketahui
selalu menunjukkan jumlah koperasi yang banyak ternyata tidak
selamanya
mampu menduduki posisi tertinggi dalam mengembangkan ekonomi
koperasi.
Hal ini terlihat misalnya Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara,
Kalimantan
Timur, dan Riau. Bahkan posisi DKI Jakarta terpuruk pada urutan ke-
21.
Performa pengembangan ekonomi koperasi berdasarkan pulau juga
menunjukkan
pola yang sama dengan propinsi. Sedangkan berdasarkan kawasan
(KBI
dan KTI) sejalan dengan kondisi obyektifnya. Berdasarkan pulau, rating
tertinggi
mencapai 2.118 dan terrendah 0.1530. Tedapat empat dari tujuh pulau
yang
mencapai rating IPEK>1, dan tiga pulau di bawah satu (IPEK<1). Peringkat
berdasarkan
pulau dalam pengembangan ekonomi koperasi dengan rating di atas
satu
adalah secara berturutan adalah Bali & Nusa Tenggara (1), Maluku (2), Jawa
(3),
Sulawesi (4). Sedangkan IPEK<1 adalah Sumatera (5), Kalimantan (6), dan
Papua
(7). Posisi Pulau Jawa dan Sumatera yang hanya pada peringkat-3 dan
peringkat-5
memang patut dipertanyakan. Kelebihan kemampuan dan aksesibilitas
Pulau
Jawa dan Sumatera ternyata tidak menjamin posisinya tertinggi.
Kalau dilihat lebih lanjut, perbedaan performa kawasan antara KBI
dan KTI
juga
terlihat. Rating KBI di atas nilai satu dan KTI di bawah nilai satu. Namun
perbedaan
ratingnya tidak terlalu jauh. KBI masih menjadi unggulan dalam
pengembangan
ekonomi koperasi. Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi
geopolitik
dan geografi KBI yang jauh lebih baik daripada KTI. Pencapaian
ekonomi
koperasi di KBI hanya 16.5% di atas kemampuan ekonomi regionalnya.
Sementara
di KTI ada kelebihan kapasitas sebesar 41.39% dalam upaya
mengembangkan ekonomi
koperasi.
3.2. Ukuran Ekonomi Regional
Sejauhmana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap
nasional
merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut
dalam
bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang
biasa
digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB
Indonesia
mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu
tersebut,
kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta,
mencapai
15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-
15.2%
atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%,
dan
terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi
di
Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan
terbesar
secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun.
Kontribusi
ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02%
dari
PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi
ekonomi
regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di
atas
3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1
terlihat
DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional
tertinggi
dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar
0.0007.
Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya
sebanyak
7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4),
Kalimantan
Timur
(5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah.
Kelompok
propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan
Maluku,
Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok
paling
rendah. Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan
kapasitas
kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai
77.8%
terhadap nasional.
Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1, semestinya
propinsi yang
memiliki
kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa
ekonomi
koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta
0.1502,
Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi
koperasi
(cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya
akan
mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal
tersebut
sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan
sumberdaya
ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu
menggerakkan
sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut
dinyatakan
bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya.
Sebaliknya,
kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya
maka
performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi tidak
mampu
menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan
koperasi sebagai wujud
ekonomi rakyat.
Dari tinjauan kapasitas ekonomi berdasarkan pulau besar di
Indonesia, yang
juga
terungkap dalam riset ini. Propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa dan
Sumatera
mendominasi perekonomian nasional karena lebih dari 75% kapasitas
nasional
merupakan porsi Jawa dan Sumatera. Pada Grafik 2 terlihat porsi Pulau
Jawa
saja mencapai lebih dari separuh nasional, yakni 55.6%, menyusul wilayah Pulau
Sumatera mencapai lebih dari 20%. Sisanya, sebesar 23%, dibagi oleh
wilayah
di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku.
Hal
ini menunjukkan kapasitas ekonomi propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera
jauh
lebih besar daripada propinsi di luar kedua pulau tersebut. Dari sisi kawasan,
regional economic size KBI juga
sangat tinggi, mencapai 77.9%, sedangkan
sisanya
kapasitas KTI hanya sekitar 15.7%. Pola perekonomian ini menunjukkan
disparitas
yang sangat tinggi tidak hanya dalam satu pulau, antar pulau, juga antar
kawasan.
Artinya, kemampuan ekonomi Jawa dan Bali dan propinsi di KBI jauh
lebih tinggi daripada
lainnya.
Dari gambaran mengenai kapasitas di atas, memunculkan pertanyaan
menyangkut
kemampuan mengembangkan ekonomi atau bisnis koperasi secara
regional.
Apakah harapan semestinya performa ekonomi koperasi yang jauh lebih
baik
di propinsi yang tinggi kapasitas ekonomi regionalnya, propinsi di pulau-pulau
yang
tinggi kapasitas ekonominya, dan propinsi di KBI yang tinggi kapasitas
ekonominya
terjadi dengan sendirinya? Hal itu akan terlihat ketika ukuran
ekonomi
koperasi regional-nya dapat ditampilkan, sebagaimana uraian pada bab
berikut.
3.3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi
koperasi
terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini
menunjukkan
sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi
koperasi
secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam
ekonomi
koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi
koperasi
menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah
sebesar
0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah
0.0302.
Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah
kategori
tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi
atau
18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni
secara
berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412),
DKI
Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan
sumbangan
terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya merupakan
kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR
sesuai
dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat
ekonomi Indonesia.
Tinjauan
dari sisi pulau, pada tahun 2006, koperasi di Pulau Jawa
mendominasi
perekonomian koperasi dengan kontribusi terbesar. Pada Grafik 4
terlihat
ukuran ekonomi koperasi di Jawa mencapai angka 0.7530. Nilai UEKR
rata-rata
adalah 0.1429, sehingga setiap wilayah yang memperoleh UEKR di atas
0.1429
termasuk kategori tinggi. Jadi hanya Jawa yang termasuk kategori tinggi,
sedangkan
Sumatera masih di bawah rata-rata, yakni dengan UEKR sebesar
0.1326.
Apabila Jawa dan Sumatera digabung maka nilai UEKR mencapai 0.8959 atau
mendominasi sebesar 89.59% ekonomi koperasi Indonesia. Sisanya dibagi
oleh
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Berdasarkan
kawasan, KBI sangat mendominasi ekonomi koperasi nasional dengan
UEKR
mencapai 0.9075, artinya sebanyak 90.75% ekonomi koperasi nasional
merupakan
sumbangan koperasi di KBI. Performa ekonomi koperasi tersebut di
atas mencerminkan
ketimpangan antar propinsi, antar pulau, dan antar kawasan.
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan,
berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya
peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian
pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang
memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi.
Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik.
Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai
propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas
ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik.
Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang
tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya,
pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang
dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu
menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER
15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo
yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu
menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan
kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya
sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai
kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar
5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai
55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera
misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah
kapasitasnya.
IV. Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi
Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian
koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu
mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa
propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi
yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi
kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu
menyatakan bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata
tidak mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini
terindikasi adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi
sebagai sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah
yang performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi,
kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan).
Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses
(pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih
banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal,
regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan
cooperative economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi
kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan
implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi.
Hal ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk
mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah
propinsi dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan
persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif
antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi
koperasi. Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah
secara nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
_____________, (2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity
Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu
Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model
Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi
Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2007). Sektor Industri Manufaktur Pilihan Investasi PMDN dan
PMA, Tahun 2001-2006. Communication Paper, CBES. Jakarta, Pebruari.
__________________, (2007). Performa Regional Menarik Investasi PMDN dan PMA, Tahun
2001-2006. CBES-Communication Paper, Maret.
__________________, (2007). Kalimantan Tengah Peringkat Pertama Menarik PMDN.
Feature Website KB. Antara. Mei 2007.
__________________, (2007). Pilihan Investasi PMDN Sektor Industri Manufaktur Dan PMA,
Tahun 2001-2006. CBES-Communication Paper, Maret 2007.
__________________, (2007). Banten Peringkat Pertama Menarik PMA. CBESCommunication
Paper, Mei 2007.
Situmorang, Johnny W, dkk., (2007). Studi Pengembangan Model Pemeringkatan Koperasi.
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM, Kementerian Negara KUKM. Jakarta
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar